Persoalan mengenai
berapakah kadar mut’ah yang harus di perintahkan oleh Mahkamah Syariah adalah
sesuatu yang penting dalam isu tuntutan Mut’ah. Dalam kitab berikut dikatakan
oleh Pengarangnya bahawa:
‘Dan
boleh mut’ah itu ditambah atas
seperdua maskawinnya menurut qaul yang shahih karena ayat Al-Quran yang
sifatnya mutlak. Dan dalam satu qaul
disyaratkan mut’ah itu tidak boleh
ditambah lebih dari seperdua maskawinnya, sedangkan dalam qaul yang lain disyaratkan kurang dari seperdua. Wallahu-a’lam.’
Maka dengan itu untuk posting
pada kali ini saya rujuk petikan dari kandungan di mukasurat 142 hingga 143
dalam kitab KIFAYATUL AKHYAR (kelengkapan orang saleh) Bahagian Kedua Pustaka Nasional
Pte Ltd [terjemahan kitab Kifayatul
Akhyar Fi Halli Ghayatil Ikhtisar karangan Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin
Muhammad AlHusaini] yang bertajuk kecil:
Perihal
Mut’ah
Berkata Syaikh Abu Syujak:
[Mut’ah ialah nama bagi harta
yang diberikan suami kepada isteri kerana menceraikannya].
Perceraian ada dua macam.
Perceraian yang terjadi sebab mati, maka tidak diwajibkan mut’ah, dengan ijmak, demikian kata Imam Nawawi. Dan perceraian
yang terjadi sewaktu hidup seperti talak. Jika bercerai sebelum campur
(dukhul), dilihat dulu; kalau mahar tidak dibagi, maka isteri berhak mendapat mut’ah, dan kalau sudah dibagi ia tidak
mendapat mut’ah lagi menurut qaul
yang masyur. Dan kalau perceraian terjadi sesudah campur, maka isteri berhak
mendapat mut’ah menurut qaul yang azhhar. Dan setiap perceraian dari pihak suami yang tidak ada
penyebabnya atau dari orang asing maka seperti talak. Misalnya kalau suami meli’an atau ayah atau anak laki-lakinya
menyetubuhi isterinya dengan syubhat dan sebagainya. Juga khuluk seperti talak
menurut qaul yang shahih.
Kalau suami menggantung
(ta’liq) talak dengan perbuatan isteri lalu ia membuatnya, atau suami
menyetubuhinya, kemudian suami mentalaknya sesudah beberapa waktu dengan
permintaan isteri, maka hukumnya seperti talak menurut qaul yang shahih. Dan
setiap perceraian dari pihak isteri atau sebab isteri, tidak ada mut’ah dalam perceraian itu, sama
seperti pembatalan (fasakh) dari isteri sebab suami miskin atau tidak ada di
tempatnya, atau seperti suami membatalkan sebab isteri cacat, Dan kalau suami
membeli isterinya maka tidak ada mut’ah
menurut qaul yang azhhar.
Perlu diketahui bahawa di dalam
mut’ah itu sama, laki-laki Islam,
kafir dzimmi, laki-laki merdeka,
budak laki-laki, perempuan merdeka maupun budak perempuan yaitu dalam mendapat
keuntungan dari budak sedangkan bagi tuan dari budak perempuan adalah seperti
maskawin.
Disunnatkan dalam mut’ah tidak kurang dari tiga puluh
dirham. Sedangkan yang wajib kalau suami-isteri sama-sama rela dengan sesuatu
barang, maka cukuplah itu menjadi mut’ahnya.
Dan jika besarnya diperselisihkan oleh kedua suami-isteri, boleh hakim
menentukan dengan ijtihadnya menurut qaul
yang shahih, dan keadaan keduanya harus dipertimbangkan dengan benar. Itulah
jelasnya ketentuan Imam Syafi’i di dalam Al-Mukhtashar.
Dan boleh mut’ah itu ditambah atas seperdua maskawinnya menurut qaul yang
shahih karena ayat Al-Quran yang sifatnya mutlak. Dan dalam satu qaul disyaratkan mut’ah itu tidak boleh ditambah lebih dari seperdua maskawinnya,
sedangkan dalam qaul yang lain
disyaratkan kurang dari seperdua. Wallahu-a’lam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan