Isnin, 4 Februari 2013

Kitab Kifayatul Akhyar [Bahagian Kedua]


Persoalan mengenai berapakah kadar mut’ah yang harus di perintahkan oleh Mahkamah Syariah adalah sesuatu yang penting dalam isu tuntutan Mut’ah. Dalam kitab berikut dikatakan oleh Pengarangnya bahawa:
‘Dan boleh mut’ah itu ditambah atas seperdua maskawinnya menurut qaul yang shahih karena ayat Al-Quran yang sifatnya mutlak. Dan dalam satu qaul disyaratkan mut’ah itu tidak boleh ditambah lebih dari seperdua maskawinnya, sedangkan dalam qaul yang lain disyaratkan kurang dari seperdua. Wallahu-a’lam.’

Maka dengan itu untuk posting pada kali ini saya rujuk petikan dari kandungan di mukasurat 142 hingga 143 dalam kitab KIFAYATUL AKHYAR (kelengkapan orang saleh) Bahagian Kedua Pustaka Nasional Pte Ltd [terjemahan kitab Kifayatul Akhyar Fi Halli Ghayatil Ikhtisar karangan Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad AlHusaini]  yang bertajuk kecil:
Perihal Mut’ah
Berkata Syaikh Abu Syujak:
[Mut’ah ialah nama bagi harta yang diberikan suami kepada isteri kerana menceraikannya].
         
Perceraian ada dua macam. Perceraian yang terjadi sebab mati, maka tidak diwajibkan mut’ah, dengan ijmak, demikian kata Imam Nawawi. Dan perceraian yang terjadi sewaktu hidup seperti talak. Jika bercerai sebelum campur (dukhul), dilihat dulu; kalau mahar tidak dibagi, maka isteri berhak mendapat mut’ah, dan kalau sudah dibagi ia tidak mendapat mut’ah lagi menurut qaul yang masyur. Dan kalau perceraian terjadi sesudah campur, maka isteri berhak mendapat mut’ah menurut qaul yang azhhar. Dan setiap perceraian dari pihak suami yang tidak ada penyebabnya atau dari orang asing maka seperti talak. Misalnya kalau suami meli’an atau ayah atau anak laki-lakinya menyetubuhi isterinya dengan syubhat dan sebagainya. Juga khuluk seperti talak menurut qaul yang shahih.
         
Kalau suami menggantung (ta’liq) talak dengan perbuatan isteri lalu ia membuatnya, atau suami menyetubuhinya, kemudian suami mentalaknya sesudah beberapa waktu dengan permintaan isteri, maka hukumnya seperti talak menurut qaul yang shahih. Dan setiap perceraian dari pihak isteri atau sebab isteri, tidak ada mut’ah dalam perceraian itu, sama seperti pembatalan (fasakh) dari isteri sebab suami miskin atau tidak ada di tempatnya, atau seperti suami membatalkan sebab isteri cacat, Dan kalau suami membeli isterinya maka tidak ada mut’ah menurut qaul yang azhhar.
         
Perlu diketahui bahawa di dalam mut’ah itu sama, laki-laki Islam, kafir dzimmi, laki-laki merdeka, budak laki-laki, perempuan merdeka maupun budak perempuan yaitu dalam mendapat keuntungan dari budak sedangkan bagi tuan dari budak perempuan adalah seperti maskawin.
         
Disunnatkan dalam mut’ah tidak kurang dari tiga puluh dirham. Sedangkan yang wajib kalau suami-isteri sama-sama rela dengan sesuatu barang, maka cukuplah itu menjadi mut’ahnya. Dan jika besarnya diperselisihkan oleh kedua suami-isteri, boleh hakim menentukan dengan ijtihadnya menurut qaul yang shahih, dan keadaan keduanya harus dipertimbangkan dengan benar. Itulah jelasnya ketentuan Imam Syafi’i di dalam Al-Mukhtashar. Dan boleh mut’ah itu ditambah atas seperdua maskawinnya menurut qaul yang shahih karena ayat Al-Quran yang sifatnya mutlak. Dan dalam satu qaul disyaratkan mut’ah itu tidak boleh ditambah lebih dari seperdua maskawinnya, sedangkan dalam qaul yang lain disyaratkan kurang dari seperdua. Wallahu-a’lam.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan