KOMPILASI HUKUM ISLAM
Di negara Indonesia terdapat sebuah buku “Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia” yang di keluarkan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama [2001].
Beberapa fasal dalam buku kompilasi tersebut adalah
berkaitan dengan perkara tuntutan mut’ah dan ianya di kemukakan di bawah ini.
Maksud Mut’ah ada di berikan oleh kompilasi ini
sebagaimana dalam pasal 1 (j) Kompilasi tersebut yang menetapkan bahawa:
yang
dimaksud dengan Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang
dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.
BAB XVI kompilasi adalah mengenai perceraian atau
putusnya ikatan perkahwinan. Di perturunkan disini fasal-fasal berikut yang
jelas maksudnya mengenai perceraian. Dari perceraian sebeginilah tuntutan
mut’ah akan timbul.
Pasal
113 - Perkawinan dapat putus karena :
a.
Kematian,
b.
Perceraian, dan
c.
atas putusan Pengadilan.
Pasal
114 - Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal
115 - Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
Pasal
117 - Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 129, 130, dan 131.
Pasal
128 - Li`an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.
Tata
Cara Perceraian
Pasal
129 - Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang
untuk keperluan itu.
Pasal
130 - Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan
terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Akibat dari perceraian atau putusnya ikatan
perkahwinan sedemikian maka timbullah isu mengenai tuntutan mut’ah. Di
perturunkan disini fasal-fasal dari Bab XVII kompilasi sebagaimana berikut yang
jelas maksudnya mengenai tuntutan mut’ah. Ianya secara langsung dan tidak langsung
adalah berkaitan jua dengan perkara tuntutan mut’ah.
Pasal
149 - Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a.
memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b.
memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah,
kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan
tidak hamil;
c.
melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al
dukhul;
d.
memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Pasal
158 - Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
a.
belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul;
b.
perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal
159 - Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut
pada pasal 158.
Pasal
160 - Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Mengenai perceraian yang berlaku atas sebab khuluk
dan li’an nampaknya kompilasi ini mengambil pendekatan umum bahawa mut’ah masih
tertanggung untuk dibayar oleh suami kepada bekas isterinya. Pasal-pasal yang
terlibat tidak langsung mengatakan dengan nyata sebaliknya. Ini bersesuaian
dengan pendapat mazhab Shafi’e yang menjadi dasar kompilasi ini sebagaimana di
terangkan di bahagian penjelasan umum kompilasi ini. Penerangan itu ada
terdapat di bahagian akhir rencana ini.
Pasal mengenai khuluk adalah dalam pasal 161
manakala pasal 162 adalah mengenai li’an.
Akibat
Khuluk
Pasal
161 - Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat
dirujuk.
Akibat
Li`an
Pasal
162 - Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak
yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari
kewajiban memberi nafkah.
PENJELASAN ATAS BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM
PENJELASAN UMUM
1.
Bagi bangsa dan negara Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya
suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan poerwujudan kesadaran hukum
masyarakat dan bangsa Indonesia.
2.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama
mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai
peradilan negara.
3.
Hukum materiil yang selama ini
berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis
besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum
Perwakafan.
Berdasarkan
Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum
Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas
adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.
4.
Dengan berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin
berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas
baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas
penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya membandingkannya dengan Yurisprudensi
Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.
5.
Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun
dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam
sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama
sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan